Perang Tarif Global: Dari Titik Didih ke Peluang De-eskalasi

Published on
Dunia kembali menghadapi gelombang ketegangan dagang besar. Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi mengumumkan kebijakan dagang terbarunya: tarif universal 10% untuk semua barang impor, serta tarif tambahan hingga 34% untuk negara-negara tertentu—termasuk Indonesia dan China. Dalam pidato yang ia sebut sebagai "Economic Liberation Day," Trump menyatakan langkah ini sebagai upaya mengembalikan kedaulatan industri AS.
Namun, reaksi global tidak berlangsung tenang.
Respons Cepat dari China dan Eskalasi Dua Arah
Hanya empat hari berselang, China membalas agresif. Pemerintah Beijing mengumumkan tarif 34% atas produk-produk asal AS, melarang ekspor logam tanah jarang—komponen penting bagi industri teknologi global—dan memasukkan 16 perusahaan Amerika ke dalam daftar hitam.
Apa yang awalnya tampak sebagai manuver politik dagang sepihak segera berubah menjadi eskalasi dua arah yang cepat. Pada 9 April, AS menaikkan tarif untuk produk China menjadi 145%, dan dibalas oleh China dua hari kemudian dengan tarif 125%. Tak berhenti di situ, pada 16 April, Trump kembali mengancam menambah tarif tambahan hingga 245%—menandai salah satu puncak perang tarif terburuk dalam dua dekade terakhir.
Posisi Indonesia: Diplomasi dalam Krisis
Indonesia tidak luput dari sasaran. Pemerintah AS mengenakan tarif 32% pada barang ekspor Indonesia, langkah yang berisiko menekan performa ekspor nasional dan daya saing manufaktur dalam negeri.
Alih-alih melakukan konfrontasi, Indonesia memilih pendekatan diplomatik. Menteri Perdagangan dan Duta Besar Indonesia untuk AS menyampaikan tawaran peningkatan impor dari AS senilai USD 19 miliar sebagai bentuk goodwill untuk meredam ketegangan. Tujuannya jelas: mempertahankan akses pasar ekspor strategis sambil menjaga stabilitas ekonomi domestik.
Respons cepat juga datang dari pelaku industri. Banyak eksportir mempercepat pengiriman barang ke AS sebelum tarif diberlakukan, menyebabkan lonjakan aktivitas pelabuhan dan logistik dalam dua pekan terakhir.
Namun langkah tersebut hanya memberikan perlindungan jangka pendek.
Dampak Nyata: Rupiah, IHSG, dan Sentimen Investor
Ketegangan dagang berdampak nyata ke pasar keuangan Indonesia. Berikut sorotan data per April 2025:
Rupiah melemah tajam, sempat menembus Rp16.750 per USD, level terendah sejak krisis moneter 1998.
IHSG jatuh hingga 7% dalam satu hari, memicu trading halt dan kekhawatiran sistemik di pasar modal domestik.
Surplus perdagangan Indonesia-AS memang naik menjadi USD 4,32 miliar pada Q1 2025 (naik 19,7% YoY), namun tidak cukup menahan gejolak pasar.
Yield obligasi global meningkat, terutama karena China menjual sebagian kepemilikan surat utang AS sebagai respons terhadap tekanan tarif. Ini memicu tekanan di pasar surat utang internasional, termasuk di kawasan ASEAN.
Seiring ketegangan meningkat, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 dari 3,3% menjadi 2,8%. Pertumbuhan AS diperkirakan hanya 1,8%, dengan inflasi yang tetap tinggi akibat lonjakan harga impor. Risiko stagflasi kembali menghantui pasar.
Tanda-Tanda Mereda: Peluang De-eskalasi?
Di tengah ketegangan yang semakin intens, muncul secercah harapan. Pada 22 April, Presiden Trump menyampaikan bahwa tarif terhadap China mungkin akan “turun secara substansial.” Sehari setelahnya, Menteri Keuangan AS menyebut bahwa “perang dagang seperti ini tidak berkelanjutan,” menandakan bahwa tekanan domestik dan internasional mungkin mulai memengaruhi arah kebijakan.
Namun, China masih menunjukkan sikap waspada. Dalam konferensi pers, juru bicara Kementerian Perdagangan China memperingatkan negara-negara lain untuk tidak tergesa membuat kesepakatan yang bisa merugikan posisi strategis jangka panjangnya.
Apa yang Bisa Dilakukan Investor?
Dalam kondisi ini, investor menghadapi dua tantangan besar sekaligus: volatilitas yang tinggi dan arah pasar yang sulit ditebak. Maka dari itu, penting untuk mengedepankan strategi investasi yang adaptif, berbasis data, dan terdiversifikasi dengan baik.
KayaSmart+, sebagai platform pengelolaan portofolio otomatis dari Kaya, telah mengambil langkah antisipatif sejak awal April. Dengan sistem berbasis AI yang mendeteksi perubahan tren pasar, portofolio secara otomatis dialokasikan lebih defensif saat volatilitas meningkat. Begitu muncul sinyal pemulihan, sistem kembali menyesuaikan alokasi ke instrumen yang lebih agresif—semua dilakukan tanpa perlu intervensi manual dari investor.
Dalam lingkungan pasar yang bergerak cepat dan tidak pasti, reaksi cepat bukan lagi keunggulan—melainkan kebutuhan.
Kesimpulan: Antara Eskalasi dan Harapan
Perang tarif tahun 2025 menunjukkan betapa cepatnya kebijakan geopolitik bisa memengaruhi ekonomi dan pasar keuangan. Untuk investor Indonesia, tantangannya bukan sekadar menghadapi tekanan hari ini, tetapi juga menyiapkan strategi untuk menyambut peluang saat pasar pulih.
Pasar tak menunggu kepastian—mereka bereaksi pada sinyal. Dengan strategi adaptif seperti KayaSmart+, Anda tidak hanya bertahan di tengah badai—tapi siap menyambut langit cerah yang mungkin datang lebih cepat dari yang diperkirakan.
DISCLAIMER: Informasi yang disediakan oleh PT. Kaya Lautan Permata (Kaya) memberikan pandangan dan analisis tentang berbagai topik keuangan. Meskipun kami berusaha memberikan informasi yang akurat dan terkini, semua keputusan investasi tetap menjadi tanggung jawab pribadi Anda. Harap dicatat bahwa semua investasi memiliki potensi risiko, dan setiap keputusan investasi yang Anda buat adalah atas kebijaksanaan dan risiko pribadi Anda sendiri.